Sabtu, 13 Desember 2014

Budaya GKK di Dunia Pendidikan (Gratifikasi, Korupsi dan Kolusi)

Sebagai seorang eks pekerja di bidang penerbitan lebih dari 15 tahun, khususnya bidang Pemasaran, sudah banyak mengalami berbagai hal yg berhubungan dg penjualan buku ke sekolah. Penjualan melalui Guru, Koperasi Sekolah (yg di dalam jg banyak guru yg terlibat), Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan atau Yayasan, bahkan sampai ke  Aparat Pemda bahkan tidak jarang sampai ke pusat. Kemudian penulis bekerja sebagai Majelis adhoc BPSk di Dinas Perdagangan dan Perindustrian.
Tentu dalam tugas baru ini harus banyak belajar ttg Hukum. Karena latar belakang pendidikan penulis dari Bidang Teknologi Pangan, yg pengetahuan hukumnya msh rendah. Pembelajaran yg diberikan melalui Bimtek hukum beberapa di BPSK, melalui diskusi dg Tim BPSK (anggota BPSK mayoritas pengacara atau memiliki background pendidikan Sarjana Hukum)  dan Pembelajaran otodidak, semakin meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum, undang-undang dan peraturan lainnya. Salah satunya tentang Gratifikasi, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (GKKN).
Seperti pengertian Gratifikasi berikut:
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001

Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pengecualian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Penjelasan aturan Hukum

Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Undang - Undang Pendukung Gratifikasi :

1. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001

2. Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999

3. Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002

4. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

5. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 

6. Undang-Undang RI Nomor 46 Tahun 2009

Melihat pengertian di atas, perusahaan penerbitan yang pernah penulis ikut bergabung sebagai pekerja, 4-5 point pada defenisi Gratifikasi, sering dilakukan kepada pelanggan-pelanggannya, yang mayoritas PNS. PNS yg dimaksud disini, mulai dari Guru, Guru yg ditugaskan sebagai Kordinator Buku atau koperasi sekolah, Kepala sekolah, hingga pejabat Dinas Pendidikan seperti Pengawas, Kabid bahkan hingga Kepala Dinas.
Kebijakan pemberian Gratifikasi tersebut berupa Rabat atau diskon tapi bukan potongan harga (krn harga yg dijual ke siswa tetap seperti harga pasaran atau harga asli dari penerbit), demikian juga dg harga PTJ proyek  yg digunakan adalah harga asli, pemberian uang atau barang yang dalam sistem akuntansi perusahaan disebut Sponsorship, entertainment, Dana Taktis Direksi. Adalagi yang lebih parah yang akhir-akhir ini frekwensi dan jumlah rupiahnya semakin meningkat yg mereka sebut dengan istilah Uang Muka atau Rabat di Muka, yg jumlahnya bisa ratusan juta. Kondisi ini semakin mengkwatirkan, terutama pengaruhnya secara psikologis atau mental para pendidik atau penyelenggara pendidikan, baik swasta apalagi negeri. Dugaan penulis, semua "pemasok" barang konsumsi dan kebutuhan sekolah melakukan hal yang sama seperti buku pelajaran dan refrensi, pemasok ATK, pemasok seragam sekolah, pembangunan fisik dan sebagainya, melakukan praktek Gratifikasi, korupsi dan kolusi.
Dari sisi jumlah dana atau barang "gratifikasi" yg mereka terima secara personal sangat kecil (di bawah ratusan juta, meskipun sering ditemukam di atas ratusan juta), namun bila diakumulasikan seluruh NKRI, jumlahnya bisa sampai ratusan milyar, bahkan trilyun. Demikian juga dengan guru dan pejabat penyelenggara pendidikan yang mengalami "kerusakan mental" merata seluruh Indonesia.
Hasil pemikiran dan analisis penulis, kondisi ini telah dan akan menghancurkan mental pendidik dan tentu akan mempengaruhi secara negatif kwalitas hasil pendidikan itu sendiri. Tentu hal ini juga mempengruhi secara negatif mental dan kwalitas anak didik. Dengan demikian maka MASA DEPAN NEGRI INI AKAN SEMAKIN BOBROK. Atau paling tidak, akan tetap bobrok.
Bila Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, memang serius melakukan "REVOLUSI MENTAL" bangsa Indonesia, mulailah dari pendidikan, perbaikilah mental pendidik dan penyelenggara pendidikan termasuk perilaku semua pengusaha atau perusahaan yang menjadi mitra  lembaga pendidikan, khususnya pemasok barang kebutuhan sekolah. Bila perlu dilibatkan Kejaksaan dan KPK dibantu LSM terkait, utk memproses secara hukum sehingga segera ada pertanggungjawaban secara hukum sekaligus analisis utk pembuatan sistem perbaikan.
Sehubungan dengan itu, maka pemerintah harus mampu menciptakan strategi dan regulasi baru yg mengatur kondisi ini sehingga tidak terulang lagi. Demikian juga untuk perusahaan-perusahaan pemasok ke sekolah dan dunia pendidikan , harus diberikan solusi dan aturan yang jelas dan baik, sehingga perusahaan tetap dapat berjalan dan berproses. Yang lebih baik lagi, dibuat aturan yang lebih baik dan canggih, sehingga "justru" terbentuk kemitraan yg sinergis antara pengusaha dan dunia pendidikan dan pemerintah, umtuk meningkatkan kwalitas pendidikan dan SDM negeri ini. Semoga. {FS}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hebat semuanya